click here baby

KIM DAN ILUMINASI

SEBUAH NEGERI tanpa fasilitas komunikasi. Adakah? Negeri yang rakyatnya tak mengenal internet, email, cellphone, atau world wide broadcast? Membayangkannya pun, semua dari anda pasti tidak. Tapi Kim Myoon, wanita 23 tahun asal Pyongyang, ibukota Korea Utara, bukan cuma membayangkan. Ia hidup dengan cara demikian. Dengan segala limitasi legal dari penguasa negaranya, ia tak pernah merasakan teknologi komunikasi yang namanya internet. Pun tak pernah tahu ada puluhan cellphone brand dengan serinya yang tiap bulan ganti. Apalagi tahu praktisnya memakai Blackberry dan teknologi 3G. Di negara Kim Myoon, Korea Utara, cellphone adalah barang terlarang. Internet pun Cuma sempat dinikmati tiga bulan. Itupun hanya untuk petinggi partai dan pejabat negara. Handphone dilarang, internet dibreidel, saluran TV local yang melulu propaganda, mengingatkan saya pada acara TVRI tahun 70-an. Membahayakan rakyat dengan bau kapitalisme adalah alasan dari semua itu. Ironis, karena beberapa kilometer arah selatan, semua produk dan attitude yang mencerminkan modernisme dan kapitalisme, terlihat begitu nyata: Korea Selatan.

Hidup Kim dan jutaan anak muda di Pyongyang, Korea Utara yang mau tidak mau terhindari dari modernitas yang memabukkan ibarat sebuah iluminasi –atau pencerahan di balik ketidaktahuan itu sendiri. Dengan tidak terlalu banyak tahu, Kim berjarak dengan ambisi. Dan itu membuatnya makin setia pada apa yang dipercayai. Setia pada partai –setia pada dogma-dogmanya. Ia menjalani hari-harinya dan menerima tugas tanpa mengincar privilese. Katanya, ‘ sepanjang hidup saya ini –sekolah, makan, dan kesehatan sudah ditanggung negara. Mengapa harus mengharap imbalan lain untuk tugas dari negara?’

Tak terima bayaran, tak ingin tahu ada kehidupan dengan segala kemewahan materialistic, bukan berarti mensakralkan ketidaktahuan dan ketidakpunyaan. Ia hanya menjalani hal yang sudah ditetapkan. Dan bukan berarti ia tak bahagia. Sebutan ‘anak negeri’ patut disematkan kepadanya. Ia bahagia, begitu mengagungkan Kim II Sung pemimpin besar Korea Utara, yang patungnya menjadi wali dari semua rakyat Korea Utara. Dalam dua hari saya bisa memaklumi Kim Myoon dan semua yang hidup di Korea Utara. Mereka tak pernah punya keinginan lain, karena memang tak pernah sempat melihat sesuatu yang lain. Tak ada yang pernah tahu serial teve Sex and The City, film James Bond terbaru, kartun Disney, atau tontonan musik MTV. Mereka memang didoktrin dengan ketidaktahuan dunia seberang –barat tepatnya- yang dicap kapitalis. Bagi Kim dan teman-teman senegerinya, hanya satu hal yang sama-sama bisa didapat, yang juga ada di negara barat: salju di akhir tahun.
Buat para pengecap hal serba modern, tak pelak Kim adalah ilustrasi yang ganjil. Sulit untuk memahami apa yang ia rasakan. Tapi bukankah hidup bukan sekedar penikmatan seperti yang diyakini Kim? Bagaimanapun, Kim masih berpeluang untuk lebih bahagia dari banyak orang yang hidup dengan konsep materialistic. Keyakinan Kim, pastilah sejalan dengan ide sosialisme utopis versi Marx-Engels tentang kebahagiaan. Yaitu bagaimana seseorang itu sanggup memastikan batas akan dirinya dan keinginan-keinginannya. Menurut Karl Marx dan Friedrich Engels, begitulah kebahagiaan ditemukan. Menurut Kim, mungkin pula demikian. Makanya, ia tak gubris tentang semua itu. Ide ini yang mendasari konsep classless society –masyarakat tanpa kelas- seperti yang terjadi di Korea Utara sampai saat ini.

Ketidaktahuan, dalam situasi tertentu adalah juga keberuntungan, kalau enggan menyebutnya kebahagiaan. Lihatlah Kim Myoon. Hidupnya seolah tanpa beban dan keinginan. Ia hanya menjalani kewajiban: sekolah, upacara, dan membungkuk hormat di depan setiap patung dan gambar pemimpin besar mereka, Kim II Sung. Dan itu membuatnya bahagia. Buat orang-orang seperti Kim Myoon semakin sering mendapat tugas dari negara, makin terlihat mulia lah hidupnya. Tak heran bila ada acara yang dibuat negara, ia langsung mendaftar menjadi relawan.

Saya mengenalnya dua tahun lalu di Pyongyang. Sebuah negeri yang tidak mengenal konsep turisme. Sebab, tak semua orang bisa bepergian ke sana. Hanya undangan dari acara resmi negara atau diplomat saja yang bisa ke Pyongyang. Kim Myoon, gadis berfaham komunis yang ingin menjadi dokter ini, dingin tapi penuh tanggungjawab ketika menjadi liason officer acara yang saya hadiri selama empat hari disana. Sepuluh menit sebelum waktu appointment, ia pasti sudah menunggu di lobi hotel. Di sudut yang sama, dengan sikap yang sama: tegak, tanpa senyum, terlihat dingin malah.

Disiplin seperti itulah yang membuatnya setia dan percaya bahwa semua hal dalam hidupnya harus seijin negara. Bahkan untuk menerima sebuah novel Josh Grisham bekas atau CD Madonna yang saya hibahkan kepadanya. ‘saya tidak bisa menerima pemberian orang asing. Bahaya, bila ketahuan negara,’ ujar Kim. Walaupun tak berani menerima, Kim masih berani melontarkan tanya,’apakah ia terkenal?’sambil menunjuk CD Madonna. Trenyuh dengan ketidaktahuannya, membuat saya rela bercerita panjang lebar tentang Madonna. Melihat ekspresi heran saya, Kim ganti cerita. Ia sama sekali tak pernah menyesali dan malu akan ketidaktahuannya dengan dunia luar.’ Buat apa tahu sesuatu bila itu membuat kita jadi tidak percaya dengan apa yang kita yakini selama ini?’ Filosofi Kim mengingatkan saya pada ajaran Buddha tentang makna tahu dan tidak tahu. ‘ Tidak melihat apa-apa, adalah penglihatan yang paling bagus. Itulah iluminasi sesungguhnya.’

Kim Myoon, gadis Pyongyang yang tidak tahu banyak. Tapi ia tahu etika dan kesantunan. Ketika mengantar saya ke anjungan imigrasi, di bandara, ia melepas senyumnya dan mengibarkan bendera merah putih kecil yang entah ia dapat dari mana. Kelihatan, ia gembira telah menunaikan tugasnya dengan baik buat negara. Segembira saya yang begitu berdiri di konter imigrasi kembali menerima cellphone yang sudah empat hari ‘diamankan’ pejabat imigrasi Korea Utara. Sedikit sesal tiba-tiba terasa. Saya, mungkin telah meracuni ketidaktahuan Kim Myoon dengan cerita-cerita Madonna, MTV, dan film-film Hollywood. Sebagai anak negeri, Kim Myoon mudah-mudahan tak mudah terusik untuk menjadi lebih tahu. Di atas pesawat Koryo Air, saya kemudian percaya –ketidaktahuan memang boleh juga diartikan sebagai sebuah keberuntungan. Ketidaktahuan Kim Myoon memberi pengetahuan buat kita. Tentang kebahagiaan –tentang kepercayaan. Setidaknya begitu. Ketika di sini, di negeri yang boleh dan tidak bolehnya sama banyak dan tak jelas batasnya –saya menjadi bingung apakah lebih enak tidak tahu atau tahu bahwa di luar sana ada system yang lebih sempurna. Ada attitude yang lebih bisa dihargai.

Hidup kita memang sudah terlanjur dibuat tahu tentang segala hal yang materialistic –entah itu namanya teknologi informasi, propaganda, barang konsumtif, gossip, ideology, hingga gaya hidup. Andai itu semua makin membuat kita makin teralienasi, makin gemar konfrontasi, dan tak bisa menjadi lebih baik, apakah kita tetap merasa lebih beruntung daripada Kim Myoon si gadis Pyongyang? Atau sebaliknya….

Sejenak, setelah mengenangkan Kim, saya diajak kembali merenungkan nyanyian Milarepa ajaran Buddha: The best scenery is not to see-That is the mind essence of illumination.

0 komentar

Recommended Money Makers

  • Chitika eMiniMalls
  • WidgetBucks
  • Text Link Ads
  • AuctionAds
  • Amazon Associates